Mari kita merenung sejenak, bagaimana perasaan kita ketika melihat tanah gersang tanpa tanaman? Mungkin hati akan bergetar dan bertanya, siapa pemilik tanah tersebut? Mengapa tanah itu dibiarkan kering dan mati? Semua orang ketika melihat tanah seperti itu umumnya merasa tidak nyaman. Boleh jadi akan muncul keinginan untuk menghidupkan tanah tersebut dengan cara menanaminya hingga tampak hijau. Keinginan tersebut merupakan fitrah Rabbaniyah yang ada dalam setiap manusia.
Fitrah tersebut, misalnya, bisa dilihat dari menggeloranya gerakan “Go Green”, sebuah gerakan yang mengajak setiap manusia untuk menanam pohon demi kelestarian bumi. Gerakan ini mendapat sambutan luar biasa dari seluruh penjuru dunia. Mereka menyambutnya karena memang gerakan itu sesuai dengan dorongan hati mereka.
Kebutuhan terhadap kelestarian bumi di masa mendatang, dan rasa khawatir akan dampak negatif kerusakannya, telah menggerakkan mereka untuk berupaya menyuburkan bumi.
Hanya saja tujuan mereka semata-mata demi kepentingan duniawi. Ini berbeda dengan orang-orang yang beriman. Motivasi kaum mukmin yang ikut menggelorakan gerakan tersebut jauh dari sekedar dorongan hati. Motivasi orang yang beriman adalah lillahi ta’ala, sementara tujuannya adalah mendapatkan ridha-Nya. Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dahulu, beliau tinggal di tanah kering berbatuan, baik di Makkah maupun di Madinah. Namun, beliau tidak pernah putus asa menghidupkan tanah yang mati. Di antara bebatuan, ketika didapati tanah yang bisa ditanami, apalagi di tanah yang subur, beliau gemar bertanam.
Beliau juga menganjurkan, bahkan tak jarang memerintahkan, para Sahabat untuk menanam pohon. Beliau bersabda, “Tidaklah seorang Muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman lalu tanaman tersebut dimakan oleh oleh manusia, binatang melata atau sesuatu yang lain kecuali hal itu bernilai sedekah untuknya,” (Riwayat Muslim).
Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika tiba hari kiamat sedang pada tangan dari kalian ada bibit pohon kurma maka tanamlah,” (Riwayat Ahmad)’
“Menghidupkan” Manusia
Jika terhadap tanah yang mati, seorang Muslim terpanggil untuk menghidupkannya, apalagi terhadap sesama manusia. Jika ada orang yang sedang sakit, selalu ada dorongan kuat dalam diri kita untuk “menghidupkan” kesehatannya kembali dengan cara mengobati dan menghiburnya.
Dalam dunia pengobatan itu sendiri, selalu ada usaha yang serius dari waktu ke waktu untuk mempelajari berbagai jenis penyakit dan mencarikan obatnya. Ada sekolah kedokteran, lembaga kesehatan, klinik, rumah sakit, dan apotik yang didirikan untuk membantu menyembuhkan orang yang sakit.
Fitrah Rabbaniyah itulah yang menyebabkan kita selalu bersimpati saat menyaksikan orang yang sakit, kita berempati kepada keluarga yang telah ditinggal mati, dan kita sendiri memelihara kesehatan, berdoa agar diberi kesembuhan, dan tidak putus asa untuk berobat.
Semua ini menunjukkan bahwa ada dorongan terpendam dalam diri setiap manusia untuk menghidupkan segala yang mati. Apalagi secara syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menegaskan, Barangsiapa yang menghidupkan seorang manusia, maka seolah-olah mereka telah menghidupkan seluruh manusia. (Al Maidah [5]: 32)
Menghidupkan Hati
“Menghidupkan” manusia tak sekadar dari sisi biologisnya, seperti pemulihan kesehatan atau pembebasan dari belenggu perbudakan, namun juga menghidupkan hati manusia. Mengapa? Karena banyak manusia yang hatinya sakit atau bahkan telah lama mati.
Masalahnya, banyak orang yang tidak sadar bahwa hatinya sedang sakit atau mati. Mereka bahkan marah atau tersinggung bila dikatakan hatinya mati. Kitalah yang berkewajiban membantu saudara-saudara kita yang hatinya seperti itu.
Hati yang sakit atau mati ditandai dengan hilangnya nurani kebaikan pada saat melakukan keburukan. Misalnya, ketika berbuat kecurangan tidak ada penyesalan, bahkan malah sebaliknya, bangga dengan kecurangan tersebut, dan mengumbar-umbarnya kepada orang lain.
Coba tengok penampilan para artis di televisi. Mereka berlomba-lomba memperlihatkan aurat dan merasa bangga dengan semua itu. Bahkan, yang lebih parah, sebagian dari mereka sengaja merekam adegan tak pantas sekadar untuk koleksi pribadi. Ketika rekama adegan tersebut tersebar di publik, mereka tak merasa malu, apalagi bersalah dan menyesal. Hati mereka betul-betul telah sakit.
Karena menghidupkan hati adalah kebutuhan mutlak saat ini maka dakwah tak boleh semata-mata berdimensi pengajaran (ta’limah). Dakwah harus menyentuh hal yang sangat mendasar, yaitu pembersihan penyakit hati (tazkiyah). Bahkan, dimensi tazkiyah ini dalam banyak hal harus lebih didahulukan dari pada pengajaran. Allah Ta’ala berfirman,Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan (tazkiyah) mereka dan mengajarkan (ta’lim) mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). (Al Jumu’ah [62]: 2)
Mengapa tazkiyah lebih dahulu dari ta’lim? Karena bagi orang-orang yang hatinya sakit atau mati, pengajaran itu tidak ada gunanya. Ibaratnya, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
Yang harus dilakukan adalah membongkar kulit yang membungkus rapat-rapat hatinya. Tutup hati atau tutup otak itulah yang dibongkar terlebih dahulu, terutama yang berupa kesombongan, karena merasa lebih unggul, lebih pandai, atau lebih suci.
Menghidupkan Peradaban
Bayangkan jika orang yang hatinya sakit dan mati itu berkumpul dalam suatu komunitas, bahkan menyatu dalam sebuah lingkungan yang lebih luas. Apa yang terjadi?
Contohnya, jika sebuah negara dihuni oleh orang-orang yang tidak memiliki rasa malu, dipimpin oleh orang yang tidak memiliki mental malu, dan tidak ada undang-undang yang mengatur masalah kemaluan, apa yang terjadi?
Seperti kita saksikan saat ini, yang terjadi adalah pornografi dan porno aksi membudaya di mana-mana, pelacuran dan perjudian marak, seks bebas menjadi kebiasaan. Akibatnya sangat mengenaskan: ribuan anak lahir tanpa mengetahui siapa bapaknya, ribuan gadis hamil di luar nikah, aborsi menjadi halal, penyakit seksual berjangkit di mana-mana.
Tak hanya itu, berbagai penyakit sosial juga ikut menjamur, seperti mengonsumsi minuman keras dan narkoba. Dalam keadaan seperti itu, runtuhlah peradaban manusia. Manusia tidak lagi menjadi terhormat, mulia, dan unggul, sebab perilaku mereka sudah tak ada bedanya dengan binatang ternak, bahkan lebih rendah dan lebih hina dari itu. Firman Allah Ta’ala, Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Al A’raf [7]: 179)
Dalam kondisi masyarakat yang rusak seperti itu maka tampilnya segolongan umat yang tak pernah berhenti menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, menjadi sebuah keharusan.
Di tengah mati dan hancurnya peradaban itu mesti lahir kaum yang bergelar Khairu Ummah. Mereka adalah orang-orang yang memiliki dorongan kuat untuk menghidupkan peradaban dan selalu memelihara fitrahnya untuk tetap istiqamah, sekalipun jalan terjal dan licin harus dilalui.
Mereka bukanlah siapa-siapa. Mereka adalah kita sendiri, hamba-hamba-Nya yang telah dimuliakan dengan risalah Islam dan dakwah, serta fitrah Rabbaniyah.
Masalahnya, maukah kita menghidupkan fitrah itu dan dengannya kita berjuang untuk menghidupkan peradaban Rabbani di muka bumi?
Fitrah tersebut, misalnya, bisa dilihat dari menggeloranya gerakan “Go Green”, sebuah gerakan yang mengajak setiap manusia untuk menanam pohon demi kelestarian bumi. Gerakan ini mendapat sambutan luar biasa dari seluruh penjuru dunia. Mereka menyambutnya karena memang gerakan itu sesuai dengan dorongan hati mereka.
Kebutuhan terhadap kelestarian bumi di masa mendatang, dan rasa khawatir akan dampak negatif kerusakannya, telah menggerakkan mereka untuk berupaya menyuburkan bumi.
Hanya saja tujuan mereka semata-mata demi kepentingan duniawi. Ini berbeda dengan orang-orang yang beriman. Motivasi kaum mukmin yang ikut menggelorakan gerakan tersebut jauh dari sekedar dorongan hati. Motivasi orang yang beriman adalah lillahi ta’ala, sementara tujuannya adalah mendapatkan ridha-Nya. Inilah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dahulu, beliau tinggal di tanah kering berbatuan, baik di Makkah maupun di Madinah. Namun, beliau tidak pernah putus asa menghidupkan tanah yang mati. Di antara bebatuan, ketika didapati tanah yang bisa ditanami, apalagi di tanah yang subur, beliau gemar bertanam.
Beliau juga menganjurkan, bahkan tak jarang memerintahkan, para Sahabat untuk menanam pohon. Beliau bersabda, “Tidaklah seorang Muslim yang menanam pohon atau menanam tanaman lalu tanaman tersebut dimakan oleh oleh manusia, binatang melata atau sesuatu yang lain kecuali hal itu bernilai sedekah untuknya,” (Riwayat Muslim).
Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika tiba hari kiamat sedang pada tangan dari kalian ada bibit pohon kurma maka tanamlah,” (Riwayat Ahmad)’
“Menghidupkan” Manusia
Jika terhadap tanah yang mati, seorang Muslim terpanggil untuk menghidupkannya, apalagi terhadap sesama manusia. Jika ada orang yang sedang sakit, selalu ada dorongan kuat dalam diri kita untuk “menghidupkan” kesehatannya kembali dengan cara mengobati dan menghiburnya.
Dalam dunia pengobatan itu sendiri, selalu ada usaha yang serius dari waktu ke waktu untuk mempelajari berbagai jenis penyakit dan mencarikan obatnya. Ada sekolah kedokteran, lembaga kesehatan, klinik, rumah sakit, dan apotik yang didirikan untuk membantu menyembuhkan orang yang sakit.
Fitrah Rabbaniyah itulah yang menyebabkan kita selalu bersimpati saat menyaksikan orang yang sakit, kita berempati kepada keluarga yang telah ditinggal mati, dan kita sendiri memelihara kesehatan, berdoa agar diberi kesembuhan, dan tidak putus asa untuk berobat.
Semua ini menunjukkan bahwa ada dorongan terpendam dalam diri setiap manusia untuk menghidupkan segala yang mati. Apalagi secara syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menegaskan, Barangsiapa yang menghidupkan seorang manusia, maka seolah-olah mereka telah menghidupkan seluruh manusia. (Al Maidah [5]: 32)
Menghidupkan Hati
“Menghidupkan” manusia tak sekadar dari sisi biologisnya, seperti pemulihan kesehatan atau pembebasan dari belenggu perbudakan, namun juga menghidupkan hati manusia. Mengapa? Karena banyak manusia yang hatinya sakit atau bahkan telah lama mati.
Masalahnya, banyak orang yang tidak sadar bahwa hatinya sedang sakit atau mati. Mereka bahkan marah atau tersinggung bila dikatakan hatinya mati. Kitalah yang berkewajiban membantu saudara-saudara kita yang hatinya seperti itu.
Hati yang sakit atau mati ditandai dengan hilangnya nurani kebaikan pada saat melakukan keburukan. Misalnya, ketika berbuat kecurangan tidak ada penyesalan, bahkan malah sebaliknya, bangga dengan kecurangan tersebut, dan mengumbar-umbarnya kepada orang lain.
Coba tengok penampilan para artis di televisi. Mereka berlomba-lomba memperlihatkan aurat dan merasa bangga dengan semua itu. Bahkan, yang lebih parah, sebagian dari mereka sengaja merekam adegan tak pantas sekadar untuk koleksi pribadi. Ketika rekama adegan tersebut tersebar di publik, mereka tak merasa malu, apalagi bersalah dan menyesal. Hati mereka betul-betul telah sakit.
Karena menghidupkan hati adalah kebutuhan mutlak saat ini maka dakwah tak boleh semata-mata berdimensi pengajaran (ta’limah). Dakwah harus menyentuh hal yang sangat mendasar, yaitu pembersihan penyakit hati (tazkiyah). Bahkan, dimensi tazkiyah ini dalam banyak hal harus lebih didahulukan dari pada pengajaran. Allah Ta’ala berfirman,Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan (tazkiyah) mereka dan mengajarkan (ta’lim) mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). (Al Jumu’ah [62]: 2)
Mengapa tazkiyah lebih dahulu dari ta’lim? Karena bagi orang-orang yang hatinya sakit atau mati, pengajaran itu tidak ada gunanya. Ibaratnya, masuk telinga kanan, keluar telinga kiri.
Yang harus dilakukan adalah membongkar kulit yang membungkus rapat-rapat hatinya. Tutup hati atau tutup otak itulah yang dibongkar terlebih dahulu, terutama yang berupa kesombongan, karena merasa lebih unggul, lebih pandai, atau lebih suci.
Menghidupkan Peradaban
Bayangkan jika orang yang hatinya sakit dan mati itu berkumpul dalam suatu komunitas, bahkan menyatu dalam sebuah lingkungan yang lebih luas. Apa yang terjadi?
Contohnya, jika sebuah negara dihuni oleh orang-orang yang tidak memiliki rasa malu, dipimpin oleh orang yang tidak memiliki mental malu, dan tidak ada undang-undang yang mengatur masalah kemaluan, apa yang terjadi?
Seperti kita saksikan saat ini, yang terjadi adalah pornografi dan porno aksi membudaya di mana-mana, pelacuran dan perjudian marak, seks bebas menjadi kebiasaan. Akibatnya sangat mengenaskan: ribuan anak lahir tanpa mengetahui siapa bapaknya, ribuan gadis hamil di luar nikah, aborsi menjadi halal, penyakit seksual berjangkit di mana-mana.
Tak hanya itu, berbagai penyakit sosial juga ikut menjamur, seperti mengonsumsi minuman keras dan narkoba. Dalam keadaan seperti itu, runtuhlah peradaban manusia. Manusia tidak lagi menjadi terhormat, mulia, dan unggul, sebab perilaku mereka sudah tak ada bedanya dengan binatang ternak, bahkan lebih rendah dan lebih hina dari itu. Firman Allah Ta’ala, Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai. (Al A’raf [7]: 179)
Dalam kondisi masyarakat yang rusak seperti itu maka tampilnya segolongan umat yang tak pernah berhenti menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran, menjadi sebuah keharusan.
Di tengah mati dan hancurnya peradaban itu mesti lahir kaum yang bergelar Khairu Ummah. Mereka adalah orang-orang yang memiliki dorongan kuat untuk menghidupkan peradaban dan selalu memelihara fitrahnya untuk tetap istiqamah, sekalipun jalan terjal dan licin harus dilalui.
Mereka bukanlah siapa-siapa. Mereka adalah kita sendiri, hamba-hamba-Nya yang telah dimuliakan dengan risalah Islam dan dakwah, serta fitrah Rabbaniyah.
Masalahnya, maukah kita menghidupkan fitrah itu dan dengannya kita berjuang untuk menghidupkan peradaban Rabbani di muka bumi?
0 Response to "3 Hal Yang Menghidupkan Renungan Kita"
Posting Komentar