“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentar kan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahhuinya, sedang Allah mengetahui-Nya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya." (Q.S. 8:60)
Ada seorang Al Akh akan pergi haji, meminta nasehat lebih dulu kepada saya.Saya katakan kepadanya haji itu merupakan bagian dari Ibadah lainnya yang kesemuanya dalam rangka “Faaqim wajhaka liddieni hanifa”.
Seluruh Ibadah kita sangat tergantung kepada tawajjuh (orientasi) kita terhadap dien secara lurus hanif. Pertama-tama tentu saja kita harus memiliki tawajjuh aqidi dalam setiap ibadah kita.
Orientasi aqidah atau menghadapnya kita secara aqidi. Dalam ibadah haji direflesikan dalam kalimat Labbaika Allahumma labbaik, Labbaika la syarikalaka labbaik. Kita menolak segala sambutan terhadap panggilan selain Allah. Dan bila harus menyambut panggilan istri, anak, tetaplah dalam kerangka menyambut panggilan Allah atau dengan kata lain Lillah/Karena Allah. Karena kita sudah menegaskan: Labbaika laa syarikalaka labbaik innal hamda wani’mata laka wal mulk laa syarikalah. Aku sambut panggilan MU ya Allah tak ada sekutu bagi-Mu sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan kekuasaan ada ditanganMu. tak ada sekutu bagi-Mu.
Setelah tawajjuh aqidi, tawajjuh yang kedua adalah tawajjuh syar’i. Dalam beribadah kita harus memperhatikan orientasi syar’i, ini karena Allah bukan saja menurunkan a’daa melaikan juga syir’atan wa min hajan dan dalam melangkah atau beribadah, kita harus melalui koridor tsb. Misalnya khudzuu ‘anni manasikakum dalam haji dan shallu kama roaitumuni ushallisholat. Sejalan dengan itu tentunya juga terfleksi dalam hal jihad atau bisa diparalelkan: jaahidu kama roaitumuni ujaahid.
Tawajjuh yang ketiga, tawajjuh amaliyah (menghadap atau berorientasi pada Allah dan Al-Islam dalam beramal. Artinya kita harus “wa’aiddu mastatho’tum min kuwwah. Segala potensi secara operasianal harus dihimpun dan digabung secara syumul ( integral)
dan takamul (terpadu) agar bisa merealisir tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban dari Allah. Karena segala tugas dan kewajiban dari Allah tidak bisa kita persiapkan secara juz’iyah (parsial). Misalnya untuk sholat kita harus lebih dulu wudhu dan untuk wudhu tentu saja harus ada air. Kemudian untuk sholat harus syatrul aurat (menutup aurat) jadi harus ada baju dan mukena. Lalu agar dengkul kita bisa tegak dan kuat ketika sholat, kita butuh makan lebih dulu. Jadi ada kesyumuliyahandalam adaa’ish sholah.
Ketiga tawajjuh tersebut, tawajjuh aqidi, syar’i dan amali harus selalu ada terhimpun secara sekaligus di setiap ibadah yang kita lakukan. yang jelas kita harus senantiasa mempersiapkan segala sarana dan prasarana serta potensi agar tugas-tugas dari Allah swt dapat kita kerjakan secara baik karena Allah telah menyuruh kita mengerahkan segenap potensi kekuatan “Waa’idduLahum mastatho’tum minquwwah” (Q.S. 8:60) disinilah letak ke syumuliyahan dan ketakamulliyahannya.
Ikhwah Fillah, dalam lanjutan ayat tersebut (Q.S 8:60) ditegaskan oleh Allah swt., Bila kamu tidak disiplin tidak wala’ tidak menggantungkan diri kepada Allah dan tidak taat kepadaNya juga kepada Rasul-Nya dan Ullil Amri maka “Iyyaka turhibkum waya’thi bi kholqinjadid wamaa dzalika Allalahi Aziz: Bila Allah menghendaki tak ada sulitnya bagi
Allah untuk meliquidir,menghapus generasi yang tidak disiplin dan membangkang ini menjadi kaum yang marjinal dan berada diemperan-emperan dakwah. Padahal seyogyanya kita menjadi pelaku-pelaku dakwah dan sejarah. Bukan sekedar penonton belaka.
Ayat-ayat yang serupa dan senada dengan itu begitu banyak dalam Al-Qur’an ”Wamaa dzalika allaihi Aziz” dan hal yang demikian bukan sesuatu yang besar bagi Allah. Kenapa banyak? Kesemuanya tak lain sebagai peringatan bahwa segala sesuatunya menjadi begitu tak berarti bila komitmen atau ketergantungan kita kepada Allah, Rasul dan Ulil amri merosot.
Seperti misalnya dalam Qur’an surat 5:54, artinya “ Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kalian murtad dari agama Allah maka Allah gantikan dengan suatu kaum yang dicintai Allah dan mereka mencintai-Nya, lemah lembut terhadap mukmin, tegas terhadap orang kafir, berperang di jalan Allah dan tidak takut celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diperuntukkan-Nya bagi siapa yang kehendaki-Nya. Dan Allah maha luas pemberian-Nya lagi maha mengetahui.”
Al jihadu maadhin ila yaumil qiyamah, jihad akan terus berlangsung sampai hari qiyamat,kata imam Syahid. Addakwah akan terus berjalan bina au ghairina, dengan atau tanpa kita. Kita ikut atau tidak dengan dakwah dan jihad, akan selalu ada orang atau generasi lain yang ditunjuk oleh Allah untuk melaksanakan-Nya karena memang dakwah atau jihad tidak bergantung kepada suatu individu atau kaum.
Dari dulu ada orang-orang yang futur, insilakh, dibantai, dipenjarakan dsb tetapi dakwah tetap saja besar. Ketika dulu dakwah sedang digebuk di Mesir seperti air digebuk, muncratnya kemana-mana. Termasuk ke Indonesia, Amerika, dan Eropa serta seluruh dunia. Mula-mula muncratnya dari emperan-emperan Mesir, kini orang-orang yang dari Mesirnya sendiri langsung datang kesemua negri. Jadi karena dakwah dan jihad adalah
proyek Allah maka ia akan tetapa eksis bina au ghairina, dengan atau tanpa kita.
Masalah optimisme ini penting sebab sekarang banyak godaan kepada kita. Mengapa kita begini-begini saja, diam-diam saja sementara si ini bermanuver, sianu bermanuver. Kalau kita saat ini bersifat seperti ini belum melakukan manuver-manuver yang berarti, semata-mata karena manhajatud da’watina dan bukan karena kita takut.
Hal ini merupakan Ihtiyajatul Marhalah. Jadi bukan masalah takut enggak takut, melainkan karena kebutuhan marhalah kita saat ini adalah seperti ini dulu. Kita juga siap untuk melakukan marhalah-marhalah berikutnya. Bermanuver seperti yang dilakukan Bintang Pamungkas sebetulnya juga merupakan bagian dari Fikhu Dakwah asalkan memang terprogram.
Hal seperti itu pernah dilakukan Abdulah Bin Mas’ud ketika masih di Mekkah. Ia berniat
melakukan manuver berupa pembacaan Al-Qur’an di hadapan orang-orang Quraisy. Mula-mula sahabat-sahabatnya melarangnya, tetapi setelah bermusyawarah akhirnya membolehkannya.
Bacaan Al-Qur’an Ibnu Mas’ud memang sangat indah dan merdu sehingga Rasulloh menyamakannya dengan bacaan Qur’an Malaikat Jibril. Abdullah bin Mas’ud pun membaca surat Ar Rahman dan orang-orang Quraisy sempat terkesima mendengarkannya. Namun begitu mereka sadar bahwa itu ayat Al Qur’an mereka pun ramai-ramai memukuli Ibnu Mas’ud hingga babak belur dan akhirnya pulang kerumah dengan digotong oleh kawan-kawannya.
Hebatnya Ibnu Mas’ud masih berucap “Wallahi kalau kalian izinkan, Aku akan pergi lagi ke sana dan membacakan Al-Qur’an “ tetapi semuanya mencegah: Sudah… sudah cukup yang penting mereka sempat geger … heboh.”
Jadi memang ada fikhu dakwahnya, manuver seperti itu. Syaratnya harus muncul dulu syaksiyah barizah atau sosok pribadi yang berpengaruh sehingga kemunculannya menimbulkan goncangan atau kehebohan di kalangan musuh. Kalau belum berpengaruh, belum termashur sudah memaksakan diri akan terbentur sana sini kan kasihan.
Allah swt memperingatkan kita bahwa ketika implementasi aqidah kita secara moral dalam bentuk loyalitas (Q.S. 5:55) dan operasional dalam bentuk mentati Allah dan Rosul-Nya (Q.S. 4:69) merosot maka mudah saja bagi Allah (wamaadzalika alallahi bi Aziz) untuk menggantikan kita dengan orang lain atau generasi lain (Q.S. 5:54)
Selain itu adalagi dalam surat 6:133 Allah itu maha kaya sumber segala kasih sayang, jika Allah menghendaki kalian dihapus, maka akan digantikan dengan generasi sesudahmu sebagaimana kamu telah menggantikan generasi sebelummu. Diisyaratkan pergantian kaum itu terjadi jika suatu kaum atau bangsa sudah ingkar, menyimpang atau melampai batas maka akan digantikan dengan yang labih baru dan lebih baik.
Generasi baru yang harus melahirkan generasi yang lebih baik dan membanggakan karena Rasulullah ingin membanggakan umatnya di atas umat-umat yang lain tidak serta merta terkait dengan banyaknya anak melainkan mutu atau kualitas generasi. Hal itu bisa berarti generasi yang banyak dan membanggakan, namun bisa pula generasi yang sedikit dan membanggakan, karena nashul hadits “fainni mubahi bikumul umam“ Seandainya pun yang ditunjuk adalah kalimat nashul hadits yang lain ”Fainni mukatsirun bikumul umam “ tetap saja tidak bisa diartikan serta merta sebagai berbanyak-banyakan karena kata mukatsirun dalam bahasa arab, seperti misalnya dalam surat At Takatsur, adalah membanggakan.
Visi jamaah juga visi Islam dalam hal soal anak adalah silahkan banyak dan boleh juga sedikit asalkan membanggakan, tiga orang anak pun sudah terkatagori katsir.Bila sanggup melahirkan 12 atau 18 dan semuanya membanggakan Alahamdulilah.tetapi bila hanya dapat melahirkan 2 atau 3, banggakanlah apa yang sudah diberikan oleh Allah kepada kita.
Anak adalah rizki dari Allah swt. kita tidak bisa mengukur atau mematoknya, yang penting generasi baru yang kita lahirkan adalah yang membanggakan. Sehingga kembali ke pembahasan kita di awal jangan sampai nanti kita disisihkan oleh Allah bahkan boleh jadi bukan hanya secara fisik (Q.S 17:85-86) tetapi juga ditilik dari segi hidayah, ilmu pengetahuan, dan fikhu da’wah bila kita menyimpang pasti Allah akan menghapus hidayah itu dari kita.
Jadi bahaya likudasi itu bukan hanya secara fisik tetapi juga dari segi-segi yang lainnya, misalnya bisa saja secara fisik kita tidak dilikuidasi oleh Allah, tetapi hidayah, ilmu, manhaj, tashowwur fikroh kita yang dilikuidasi oleh-Nya, bila kita tidak konsisten pada nilai-nilai kebenaran.
Oleh sebab itu Ikhwan fillah, saya mencoba mengingatkan kita semua akan pesan Ustadz Musthofa Mansyur tiga tahun yang lalu. Beliau berbicara tentang DHOMANATUL BAQO’ bahwa komitmen kita terhadap arkanul bai’ah adalah jaminan eksistensi keberadaan kita di dalam dakwah. Suatu gerakan politik bila diterjemahkan sebagai sebuah gerakan dakwah baru bisa eksis dan survive bila memiliki muqowimat yang disebut MUQOWWIMA ITSBAT WUJUDUD DA’WAH:
1. Memiliki prinsip yang kokoh yang disebut RUSUKHUL MABDA. Aqidah kita jelas
memiliki prinsip-prinsip yang kokoh.
2. Memiliki visi yang jelas.
3. Mempunyai konsep yang aplikatif. Minhaj kita yang berasal dari Qur’an memberikan
pada kita konsep SYIR’ATAN WA MINHAJAN yang disebut juga sebagai konsep
yang aplikatif dan qobilit tanfidz.
yang aplikatif dan qobilit tanfidz.
4. Memiliki kader-kader yang mumpuni.
5. Memiliki organisasi yang efektif atau TANDZIMUN FA’AL. Mmang Jama’ah bukan
sebuah oganisasi, tetapi Jamaah menggunakan sistem organisasi untuk menata sistem
organisasi.
6. Memiliki DA’AM SYA’BI atau dukungan masyarakat.
7. Mempunyai kemampuan ekonomi yang berkembang.
8. Dukungan birokrat.
9. Dukungan tentara.
0 Response to "Muqowwimat Itsbat Wujudud Dakwah"
Posting Komentar